Categories: Review

4 Versus di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023)

4 Versus di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) – Perbandingan selalu jadi bagian dari hidup kita. Seperti yang dipaparkan dalam penjelasan tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog yang bertemakan Versus bulan Mei 2024 ini, hidup tanpa perbedaan akan terasa hambar dan menjemukan. Sayangnya kalau kita terlalu maksain keinginan atau value kita, hubungan kita dengan pihak lain bisa rusak.

Saya dapat banyak rekomendasi untuk menonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) atau disingkat JCSDF. Sebelumnya saya nggak banyak berharap kok ya dengan film Indonesia. Karena banyak yang dielu-elukan bagus tapi nyatanya ya .. Memang sih ada beberapa yang oke seperti My Stupid Boss atau Terlalu Tampan

Tapi film romansa yang genuine atau tulus, yang nggak ‘berformula’ atau berani beda di atmosfir film Indonesia yang doyan horror memang jarang banget deh. Mungkin hampir ngga ada? Ya mungkin film JCSDF ini termasuk yang langka itu.

Biar agak beda saya mengulas film ini saya dengan membahas beberapa perbandingan di dalamnya. Ini dia:

Idealisme Penulis VS Komersil

Perbandingan pertama yang paling jelas adalah idealisme penulis versus tuntutan komersil. Bagus (Ringgo Agus Rahman) adalah penulis skrip film adaptasi. Film-film yang ia tulis naskahnya adalah film-film yang sudah pernah terkenal, namun dibuat lagi versi barunya. Sehingga titel-titel film yang ia tulis selalu ada kata–kata remake maupun reborn.

Bagus sangat ingin menulis skrip orisinil miliknya sendiri. Passion-nya akan proyek terbarunya tinggi karena ia memutuskan untuk menuliskan kisahnya bersama cinta lamanya, Hana (Nirina Zubir). 

Ketika Bagus mengusulkan idenya ke produsernya, Pak Yoram (Alex Abbad), Pak Yoram kerap menginterupsi pitch Bagus dengan pendapatnya yang kental akan demand industri atau minat kebanyakan penikmat film Indonesia. Atau yang ia anggap akan mendongkrak tiket penjualan film. 

Mulai dari adegan pembuka yang dikatakan mahal cost-nya, color grading atau warna film yang hitam-putih (penonton film Indonesia akan berpikir filmnya rusak, LOL), pemilihan aktor, adegan dramatis untuk Hana yang sedang berduka dan lain-lainnya, Bagus sering harus bersabar menerima usulan atau saran Pak Yoram yang sangat benefit-oriented. Untungnya Bagus bersemangat menyampaikan ide naskahnya. 

Sebagai seniman, tentu Bagus ingin mengekspresikan idenya dalam tulisan. Sementara Pak Yoram tidak mau rugi. Ia terus mengusulkan hal-hal biasa yang sudah jadi ‘paketan’ dalam meluncurkan film yang akan atau harus laku. Dialog keduanya merupakan realita penulis dan tuntutan komersial. Idealism versus commercial yang juga jadi dilema setiap penulis maupun semua pekerja kreatif. 

Kisah Cinta di Usia Muda, Akhir 40an dan Di Film-film Romantis

Seperti juga titelnya, yang mungkin kalau dipanjangkan harusnya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (Romantis) yang kepanjangan kayanya ya kalau begini, film ini membahas tentang jatuh cinta. Menurut Hana, di usia dirinya dan Bagus yang sudah di akhir 40 tahunan, nggak mungkin punya kisah cinta menggebu-gebu atau bucin (budak cinta) seperti di masa muda. 

Benarkah menurut Hana itu? Menurut saya yang dulu sempat jadi blogger film, mau usia muda dan tua, nggak ada yang bisa prediksi kapan momen fall in love datang. Siap atau tidak, menggebu-gebu atau tidak, tak ada yang bisa tahu dan menakar ‘harusnya begini dan begitu’. Mau tua atau muda, kadang yang muda lebih matang dan dewasa daripada yang sudah berumur. 

Di film-film pun begitu. Film romansa juga banyak rupanya. Yang jelas memang sih kalau lagi jatuh cinta, seseorang bisa jadi keras kepala. Umur berapa pun. Seperti yang dipikirkan beberapa orang akan karakter Bagus.

Tentunya POV (point of view) Hana sangat berkaitan dengan kondisi dirinya yang tengah berduka. Suaminya baru 4 bulan meninggal. Menurutnya, ia tidak lagi bisa jatuh cinta atau memiliki pasangan lagi. Ia pun berkata bahwa ia baik-baik saja walaupun tidak berpasangan lagi seumur hidupnya.

Bagus yang dalam kondisi tidak berduka alias normal, tidak setuju. Dengan kemungkinan seseorang jatuh cinta lagi meskipun pasangan sebelumnya sudah meninggal. Tentu saja diam-diam Bagus suka dengan Hana. Dan Hana cukup jauh dalam memandang kemungkinan jatuh cinta lagi, karena perasaannya yang ‘berkabut’. Beda dengan Bagus yang justru siap menerima cinta atau hadir dalam hidup Hana.

Menurut Hana, penggambaran berduka dalam film-film juga tidak nyata. Seseorang bisa saja melakukan aktivitas normal dan terlihat normal, tapi sebenarnya hatinya tidak ingin maju atau berlaku seperti biasa. 

Begitu juga di film ini, perasaan berduka Hana lebih banyak terlihat dari sorot matanya dibandingkan meraung-raung menangis. Dukanya banyak juga terlihat ketika sendiri dan hendak tidur, namun sulit dan menangis beberapa tetes mata. 

Seperti juga di serial From Scratch (2022) yang pernah saya ulas sebelumnya, seorang istri butuh waktu untuk berduka sebelum bisa move on lagi. Apalagi jika sosok suami adalah sosok yang sangat dicinta.

Dunia Florist dan Filmmaking

Film JCSDF juga memperlihatkan dua bidang pekerjaan; bidang sebagai florist atau pengusaha bunga dan dunia perfilman. Bagus yang berdalih menuliskan karakter filmnya yang berprofesi sebagai florist mengikuti aktivitas Hana dari pagi. Memilih bunga-bunga yang dijual, merangkai dan melihat buket-buket bunga diantarkan.

Alasan kenapa Hana suka dengan bunga juga bagus banget sih. Karena siapapun yang menerima bunga pasti senang. Dan mereka yang mengirim bunga berusaha memahami perasaan si penerima bunga tanpa kata-kata. 

Sementara dunia pekerjaan Bagus adalah perfilman. Tentunya lebih banyak terlihat Bagus menulis di rumahnya. 

Bagus juga menyatakan alasannya suka film. Adalah karena ia jadi bisa memahami perasaan orang lain. Karena film suka mengupas POV seseorang. 

Secara umum sebenarnya film JCSDF ini menarik karena memperlihatkan latar belakang kru film. Khususnya yang saya suka sih hadirnya editor film perempuan (yang jarang banget lho disorot di film maupun serial). 

Juga mengisahkan kisah cinta sekaligus pembuatan naskah film dan filmnya as it goes, alias masih berjalan. Karena Baguslah penulis naskahnya, pembuat filmnya dan juga karakter utamanya. 

Kesimpulan

Secara umum saya suka konsep film ini. Dan konsep kenapa harus berwarna hitam dan putih (generally saya suka film hitam putih yang bertema modern).

Namun kalau bicara romantis, ada banyak film yang lebih romantis. Ujung-ujungnya dia menang karena memperlihatkan ketulusan Bagus ke Hana. Walaupun ngga over the top, tapi ada. 

Sebagai sosok leading man, Ringgo Agus masih juara karena menggambarkan ketulusannya ini. Mengalahkan aktor-aktor yang mungkin lebih tampan lainnya. Tapi apa faktor ini bisa bikin si film jadi 5 bintang? Hmmm…

Menurut saya ada beberapa faktor yang agak kurang. Misalnya adegan klimaks yang kelihatan ‘datar’. Maupun chemistry Nirina Zubir dan Ringgo yang lebih kerasa kaya temenan dan kurang spark. Ya, ini sih debatable karena keduanya memang berteman lama dan faktor Hana yang berduka. 

Kalau menurutmu sendiri bagaimana dengan film ini?

Sunglow Mama

Seorang Ibu Rumah Tangga yang suka blogging dan berbagi tentang sisi kreatifnya. E-mail saya ke missdeenar@gmail.com untuk kerjasama

View Comments

  • Waaahhh … Jadi penasaran pingin nonton.
    Keren ini teh Andina bisa nulis versus berdasarkan film. Keren…

  • Sukaaaaa. agak nyesel sih ga nonton ini si bioskop. Kalo kata temenku, film ini jauuh lbh bagus dan dapat feel nya saat di bioskop mba. Tapi aku yg nonton di Netflix aja juga bisa ngerasain yg mau disampaikan bagus dan hana. Konsepnya keren, beda aja dari film lain. Mungkin krn jarang nonton yg genre begini, aku jadi suka ngeliatnya.

  • “Suka film hitam putih yang bertema modern” unik ya Mamah Andina.
    Ku akhirnya nonton ini juga setelah Andina, Kak Risna, dan Mamahs ngobrolin ini di grup ehehe. Iya euy, bagus dan beda ya. Dialognya juga mendalam, ga ‘permukaan’ doang. Nirina dan Agus Ringgo pun cucok dan serasi.

  • Ini film keren banget! Jarang2 liat film Indonesia (dengan catatan bahwa aku ga ada banyak kesempatan nonton film Indonesia nih ya) yang lebih fokus ke story telling ketimbang story-nya sendiri. Aku sukaaa

Share
Published by
Sunglow Mama
Tags: review film

Recent Posts

Kumpul-Kumpul Ibu-Ibu Blogger MGN di Depok

Kumpul-Kumpul Ibu-Ibu Blogger MGN di Depok - Sejak menulis best times kumpul-kumpul sebagai blogger, sebenarnya…

3 weeks ago

Review Film Budi Pekerti (2023)

Review Film Budi Pekerti (2023) - Ada sebuah fase di hidup saya saat pindah haluan…

4 weeks ago

Tren Trad Wives di Internet, Jenius Atau Fake?

Tren Trad Wives di Internet, Jenius Atau Fake? - Sebagai pengguna internet yang umumnya melihat-lihat…

1 month ago

Di Balik Nama Sunglow Mama

Di Balik Nama Sunglow Mama - Kalau membaca tulisan ini berasa seperti Déjà vu, mungkin…

1 month ago

Renungan dari Film ‘Architecture of Love’

Renungan dari Film ‘Architecture of Love’ - Seharusnya sudah terbayang suatu saat Putri Marino akan…

1 month ago

Weekend ‘Reset’, Harapan dan Kenyataan

Weekend ‘Reset’, Harapan dan Kenyataan - Waktu membuat tulisan membahas aktivitas weekend yang produktif, saya…

2 months ago

This website uses cookies.