Cerita Koleksi di Usia 20an, dulu dan sekarang

cerita-koleksi-20an.jpg

Cerita Koleksi di Usia 20an, Dulu dan Sekarang – Membahas usia 20an rasanya kok seperti sudah tua. Padahal usia saya sudah nggak 20an lagi tapi insya Allah berjiwa muda, hehe. Ketika Mamah Gajah Ngeblog mengajak menulis Koleksi di Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Juli 2024, pikiran saya berkelana ke masa lebih muda. 

Maklum di usia sekarang, saya berusaha menimimalisir koleksi barang. Saya takut menimbun barang dan akhirnya tidak digunakan. Bahkan saya merasa bersalah akan buku-buku yang saya punya, belum semua dibaca sampai tuntas. 

Tapi menyenangkan untuk membahas dan mengenang masa 20an, seperti ketika saya menulis kisah lucu naik bus masa ngantor ini. Terlebih ngomongin koleksi. Karena saya sejujurnya ingin juga mengenang masa itu dan mindset saya yang tidak sama seperti sekarang. 

Beberapa koleksi yang saya sebut bahkan tidak saya anggap sebagai koleksi. Tapi saya menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Juga, sebagian besar koleksi yang saya sebut di bawah ini sudah tidak lagi saya simpan.

Ini dia beberapa koleksi saya di usia 20 tahunan:

‘Koleksi’ Tiket Bioskop 

Waktu masih jadi blogger film, tiap bulan biasanya saya menyempatkan diri ke bioskop. Nah sudah pasti kalau mau nonton di bioskop, mendapat sobekan tiket bioskop sebagai ‘kenang-kenangan’. 

Entah kenapa saya tidak membuang tiket-tiket tersebut. Seakan-akan jadi bukti kalau saya sudah menonton di layar bioskop. Tentu menarik kalau memperhatikan detil-detil seperti jam dan tanggal menontonnya. 

Padahal sih sebagian besar tiket-tiket itu cuma ‘menginap’ di dalam tas yang saya pakai. Beberapa yang spesial kadang saya selipkan di buklet atau buku. Lama-kelamaan juga tinta dalam tiket tidak tahan lama dan memudar. Nggak kelihatan lagi judul filmnya. 

Setelah beberapa lama, kumpulan sobekan tiket bioskop itu agak menggunung. Ujung-ujungnya tetap dibuang. Karena akhirnya cuma jadi sobekan kertas yang memudar. 

Koleksi Kamera Mainan

Beberapa kali saya menuliskan kegemaran saya dulu memotret dengan kamera mainan. Sebenarnya ngga begitu banyak juga sih koleksinya. Setiap kamera memiliki karakteristik sendiri.

Salah satunya kamera Holga, mungkin kamera yang paling punya kenangan dan paling saya suka. Saya suka karena tampilannya ‘gagah’ walau cuma kamera mainan  dan format filmnya 120 (bujur sangkar). Saya sempat memotret landmark dan tempat-tempat di Jakarta salah satunya menggunakan Holga. 

Kamera Holga, first camera crush saya

Kamera mainan lainnya yang saya sempat punya adalah Diana Mini, Lomolitos dan  kamera multi-lensa. Ada kamera yang dikasih dan didapat karena menang hadiah. Ada kamera yang sebenarnya cuma untuk sekali pakai, tapi di-abuse alias di reuse jadi masih bisa dipakai, hihi. Saya punya juga lensa fisheye tapi dipinjamkan dan entah kemana keberadaannya.  

Saat ini saya masih punya kamera Holga, tapi seperti yang sudah pernah saya ceritakan, kamera itu sudah agak rusak. Sisa kameranya sudah saya jual dan kasihkan. 

Keinginan punya kamera selalu ada, tapi saya suka mundur karena berpikir ‘apakah saya akan sering memakainya’? Kesibukan saya sebagai ibu rumah tangga dan jarang bepergian buat saya berpikir ulang punya kamera mainan lagi.

Terpikir membeli kamera polaroid karena nggak perlu ke tempat cuci foto, cukup langsung mendapat foto habis jepret. Tapi mikirin harga 1 filmnya dan kemungkinan jepretannya jelek yang tidak bisa di-undo buat saya jadi mundur mau beli.

Koleksi Film Expired

Koleksi ini sepaket dengan koleksi kamera mainan. Karena kamera mainan adalah kamera analog, jadi membutuhkan film untuk memotret. Dan untuk mendapatkan efek nyeni, sering kali berpengaruh dari film yang dipakai.

Film-film ‘biasa’ bisa dibeli tempat cuci film. Tapi untuk mendapatkan efek estetik pakailah film-film memiliki karakter yang kita mau. Salah satunya memakai film kadaluarsa atau expired.

Untuk mendapatkan film-film ini memang sedikit tantangan. Biasanya ada yang jual di forum online atau dari kenalan. 

Pernah suatu kali saya sampai kopdar sama si penjual di pertokoan dekat rumah dan minta tolong teman mengantarkan (ngebut dari kantor). Pernah juga janjian sama pegawai tempat cuci film dan ketahuan sama ketua komunitas yang protes kok ya ngga dijual sama mereka. Kalau mau beli dari toko resmi, biasanya harganya agak mahal. Belum kalau dikirim dari luar negri. Tapi saya ngga pernah sampai pesan ke LN segala sih. 

Dulu saya punya 1 wadah berisi sampai 10 film. Tapi ketika saya menikah dan pindah, film itu tertinggal di rumah Ibu saya dan entahlah sudah kemana kini. 

Saya masih punya rol-rol film yang telah dicuci di dalam salah satu lemari saya. Seru juga sih untuk melihat koleksi rol itu kembali. 

Untuk kembali mengoleksi film kadaluarsa kayanya nggak bisa dulu. Kompak dengan pikiran mengoleksi kamera mainan, saya juga ngga bisa koleksi filmnya. Untuk menyimpan film-film ini sebaiknya ditaruh di kulkas, sementara mungkin kulkas saya sudah agak penuh dengan bahan masakan rumah. 

Koleksi Buku Desain

Sejak saya masih kuliah, ketika musim liburan sekitar bulan Juni dan Juli saya suka datang ke pameran buku tahunan dan mencari buku-buku desain impor. Dulu memilikinya lebih untuk mencari inspirasi dan referensi. Atau mungkin juga sebuah pernyataan bahwa saya berminat dan berkecimpung di dunia desain.

Tapi seiring waktu, saya nggak banyak membuka dan bahkan lupa punya koleksi buku-buku ini. Ditambah lagi, sekarang untuk mencari referensi dan inspirasi cukup dengan menjelajahi internet. 

Awalnya sayang untuk melepasnya. Buku-buku desain tidak murah (makanya saya sengaja cari di pameran untuk dapat harga diskon) dan berbahan bagus. Menjualnya pun tidak mudah karena peminat buku-buku ini cukup segmented. Tapi setelah beberapa tahun buku-buku ini nggak dipakai juga, saya putuskan untuk harus melepasnya. 

Akhirnya tahun 2023, buku-buku ini saya sumbangkan ke perpustakaan jurusan kuliah saya dulu. Cuma 1 buku yang saya simpan, itupun untuk kebutuhan belajar si kecil. 

Kini koleksi referensi dan inspirasi yang saya miliki ada di Pinterest. Juga konten-konten media sosial yang bisa disimpan linknya. 

Koleksi Booklet Festival Film

Dulu sih senang banget rasanya bisa datang ke festival-festival film di dalam kota. Biasanya di venue festival film tersedia booklet festival film berisi seluruh program-program mereka dan deretan film yang bisa ditonton beserta tempat menontonnya. Disitu kita bisa memilih film mana yang akan kita tonton sesuai jadwal yang kita bisa. 

Beberapa tahun ikutan, saya jadi punya beberapa booklet festival film. Menarik sih untuk membaca-bacanya lagi setelah beberapa lama. Apalagi biasanya desainnya menarik dan penuh warna, ditambah imej-imej film yang akan ditayangkan juga terpampang disana.

Tapi ketika saya menemukannya lagi habis pindahan rumah, saya merasa buklet-buklet itu cuma sekedar buku saja. Mungkin karena saya tidak memandang tinggi film-film lagi seperti dulu dan terkadang saya mendatangi festival film kadang cuma untuk mengejar prestise atau imej. Akhirnya saya memilih untuk membuang kumpulan buku-buku ini demi ruang penyimpanan yang lebih leluasa di rumah.

Koleksi DVD Film (Original)

Dulu masih jaman memakai DVD atau bahkan VCD untuk memutar film. Karena saya penggemar film, saya suka membeli film-film favorit. Dulu masih dijual di toko-toko musik (yang kini sepertinya sudah tidak ada). Juga dijual di toko buku dekat bagian stationery

Membeli film original sebenarnya adalah bentuk menghargai si film dan seluruh pendukungnya. Tapi ‘upaya menghargai’ karya mereka ini jadi cuma mejeng di rak atau dalam lemari karena agak jarang diputar.

Kadang ga semua film enak ditonton berkali-kali. Dan extras (fitur tambahan dalam DVD) juga sebenarnya nggak wah banget sih. Film yang pakai commentary (komentar sutradara dan pemain) malah ujungnya ngeganggu tontonan kok ya rasanya, haha. 

Oh ya akhirnya koleksi saya ini sebagian besar sudah dijual lagi. Untuk judul film populer mudah dijual. Sisanya kelupaan dijual dan bahkan ada yang ngga sempat ditonton. 

Koleksi Foto Jalan-jalan yang di-Retouch

Koleksi foto waktu ke Makassar, foto di-adjust lebih terlihat warna biru langitnya dan lebih pop warnanya

Tentunya saya masih suka foto-foto dengan kamera ponsel maupun digital. Ada kalanya saya mengedit foto-foto event atau jalan-jalan dengan mood atau nuansa tertentu). Kemudian di unggah ke media sosial. Sebenarnya sih ini ‘latah’ karena melihat kebiasaan kenalan saya yang juga begini.

Misalnya waktu teman-teman sekantor pergi ke Dunia Fantasi, saya sengaja edit foto dengan warna agak keabuan. Lalu ketika jalan-jalan ke Bogor, saya membuat nuansa fotonya berwarna kecoklatan dan hijau. Targetnya memang di posting ke media sosial. Tapi kala itu belum ada aplikasi semacam Snapseed atau VSCO yang punya banyak filter foto. 

Kalau melihat koleksi foto tersebut, cukup niat ya saya mengedit foto sedemikian banyak. Tapi karena dulu memang senang foto dan suka dengan kenangan fotonya, jadi senang-senang saja mengedinya. 

Sekarang saya malah irit sekali mengunggah foto ke media sosial dan bahkan blog. Ini karena saya lebih privat dan nggak mau informasi saya tersebar ke internet. Banyak usaha untuk mengambil data pribadi kita sehingga agak riskan mengunggah informasi terlebih foto kita pribadi ke internet. 

Penutup

Membicarakan kesenangan di masa lalu menyenangkan karena mengingat kembali memori seru dan menyenangkan. Tapi saya sudah tidak lagi menjadi seseorang yang mengkoleksi barang-barang ini, walau mereka membantu membentuk saya jadi diri saya sekarang.

Memiliki koleksi jika memang sering dipakai, Alhamdulillah. Jika tidak, apakah yang ingin kita capai? Terkadang kita mengkoleksi karena ingin mengejar image tertentu. Tapi belum tentu diri kita yang asli memang seperti gambaran yang kita kejar. Being yourself tanpa harus mengejar penilaian tertentu lebih nyaman dan ‘bebas’.

Banner-Tantangan-MGN-2024.jpg

Apakah kamu punya koleksi di umur lebih muda yang unik? Boleh juga berbagi cerita di kolom komentar 🙂

8 thoughts on “Cerita Koleksi di Usia 20an, dulu dan sekarang”

  1. Wah, banyak juga ya varian koleksinya sejak zaman muda. Ahaiiii sekarang juga masih muda kok 🙂
    Btw aku baru tahu soal film expired itu, nice info. Sekarang masih banyak nggak ya, orang yang memotret pakai kamera analog?

  2. Koleksinya seniman banget sih XD
    Aku dulu juga suka retouch foto, tapi kayaknya nggak sampai jadi koleksi. Menuh menuhin folder aja sih. Hehe

  3. Kapan2 dibagi dong teh, foto2 hasil rekaman film expired itu. Selalu bisa jadi gambar atau ada kemungkinan gagal total? Ceritain lbh panjang dong. Menarik, inih

  4. Ya, akhirnya, semuanya tidak lagi di koleksi setelah berumah tangga, karena aktiias rumah tangga yang sudah padat. Mungkin kalau disesuaikan dengan aktivitas rumah tangga, koleksi saya sekarang adalah wadah-wadah dari Tupperware ya. Hahaha…. Bersyukur karena kalau rusak karena pemakaian masih bisa di klaim/diganti, meskipun sekarang proses penggantiannya sangat lama dan lebih prosedural dibandingkan dulu.

  5. Serba artsy ya koleksi Mamah Andina. . Sebenarnya kalau dipikir pikir (karena kalau gak dipikir mendalam, buatku, memang benda2 tersebut akan auto ke tempat sampah sih) ini bisa menjadi treasure ya di masa depan. Dimasukkin museum juga bakal unik ehehe. Andai saja punya gudang kayak yang orang2 Amerika punya itu lho. Bisa disimpan di situ ya ehehe.

  6. Waaah sampe nyimpen film exp nya jugaaa mbaaa . Jd inget zaman msh suka motret pake analog.

    Aku sendiri dr zaman sd koleksinya perangko.

    Trus SMP jd mulai koleksi kaset. Ada buanyaak bgt itu, sampe kuliah koleksinys.

    Tp yg skr msh aku simpen dan tetep beli sesekali, itu koleksi buku pastinyaa . Kalo itu dr SD juga udh mulai. Tp kbnyakan di perpustakaan di rumah papa. Kalo di rumahku skr baru mulai aku kumpulin sejak kerja sebelum nikah. Ga bisa hidup lah kalo tanpa buku. Obat stress ku banget itu

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Scroll to Top