Kisah Lucu Naik Bus di Jakarta Jaman Masih Ngantor – Di suatu masa, diriku pernah sehari-hari naik bus pulang-pergi kantor. Sempet horor awalnya, karena terbiasa dengan bus yang rada bagusan. Bukan bus kota tanpa AC (gaya bener ya, tapi itu sejujurnya). Ternyata malah banyak cerita unik yang dialami. Mereka jadi ‘bumbu’ sehari-hari yang melengkapi hari-hari sebagai pegawai kantoran. Salah tiganya, tiga cerita di bawah ini….
Intro
Alkisah, seorang wanita di usia pertengahan 20-an sedang otw kantornya di suatu pagi jelang siang. Satu hal yang buat dia gugup setiap hari adalah perjalanan menuju kantor.
Dia ogah telat. Tepatnya sih, dia tidak mau ketahuan telat oleh bosnya.
Tapi beneran kok, dia dasarnya nggak suka telat. Atau, bikin orang lain kecewa dan menunggu. Gak enakan orangnya.
Sayangnya, sifatnya ini suka nggak sinkron dengan sikon lapangan. Kenapa? Soalnya, tidak bisa diprediksi. Tepatnya, bus apa yang ia akan tumpangi setiap hari. Dan kapan muncul si hidung, eh si wujud bus itu.
Kalau dipikir-pikir lagi, menunggu bus kota menuju kantornya ibarat sebuah seni. Seni menunggu dan melatih kesabaran.
Kadang-kadang, dia pikir kalau sedang beruntung, dia bisa langsung sampai halte dan dapat bus lewat tol, dan langsung turun ke dekat kantor under 20 menit! Kalau tidak sedang beruntung, dia bisa menunggu hampir setengah jam lebih. Itu juga dapat bus yang harus ke daerah pusat dulu.
Yah, nasib angkoters, deh.
******
Pengamen Reggae Suropati
Wait, sebelum cerita tentang bus ajaib yang akan dinaiki wanita ini, kita ‘berkelana’ dulu ke jaman doi lebih muda lagi. Yaitu pas dia masih kuliah dan sedang tugas PKL.
Bus yang dia naiki tiap hari cukup nyaman waktu itu. Busnya ber-AC, tujuan akhirnya ke Lebak Bulus, tapi dia bakal turun di daerah Senayan. Alhamdulillah dia cukup familiar dengan rutenya karena pernah beberapa kali diajak kakak ke mal daerah Senayan.
Ada sekelompok pengamen nyentrik yang beberapa kali menaiki bus yang ditumpanginya. Mereka suka naik dari halte taman Suropati.
Seingat si gadis, sekelompok pengamen ini total penampilannya mengikuti genre musik yang mereka suka mainkan. Kontras banget deh sama look kota Jakarta yang formal penuh gedung-gedung menjulang tinggi. Beda banget juga sama seisi penumpang bus yang rata-rata pegawai kantor, yang kemeja-an dan serius. Kalau diibaratkan warna, si kota isinya hitam putih, dan si grup pengamen penuh warna.

Tiga orang pengamen ini suka ngamen lagu reggae. Jadi kebayang ya penampilannya dengan rambut gimbal, baju longgar dan celana ngatung. Kalau ga salah, mereka juga bawa gitar dan tamborin. Mereka suka menyapa ramah supir bus, “Halo, Pak Supir! Apa kabar?” Sok ramah tapi ceria. Atau kadang ya mereka masuk aja dan mengamen.
Grup pengamen ini kalau sudah main, wah… Ibarat lagi konser! Bus bagaikan panggung sendiri. Suara vokal dan musik kencang mengisi satu bus. Beberapa lagu yang suka mereka mainkan itu ‘Welcome to My Paradise’, ‘Baby, I Love Your Way‘ dan beberapa lagu Pop yang di-reggae-kan.
Si gadis PKL hampir selalu terhibur tiap mereka naik. Maklum, sebagai mahasiswa desain yang fakultasnya suka nyeleneh, dia merasa nyambung dengan ke-nyentrik-an si pengamen.
Plus, rasanya agak seram memasuki perkotaan yang serius dan formal. Belum lagi suasana kantor tempat ia PKL, begitu tua dan kaku rasanya. Dan si grup pengamen reggae ini bagai penawar tekanan yang di gadis rasakan.
Jadi, kadang tiap bus lewat di daerah Suropati, ia suka menantikan si grup pengamen naik. Jika mereka tidak ada, ia sedikit kecewa. Suatu kali, ia pernah melihat kawanan pengamen ini naik dari bundaran HI dan dia habis pergi ke mal daerah sana juga.
Ia hampir selalu mengasih mereka uang. Dan bertanya-tanya apa mereka suka manggung di kafe atau restoran. Karena rasa-rasanya mereka tipe yang demikian.
Tapi yang absurd, tiap kali pengamen ini selesai ngamen, nggak ada respon sama sekali dari seisi bus. Hening, no response. Padahal menurut si gadis, harusnya paling nggak ada yang bertepuk tangan. Soalnya, sulit untuk tidak memperhatikan musik yang mereka mainkan di dalam bus. Tapi nggak ada suara, sepiii sekali. Cuma suara perkotaan biasa sebagai latar.
Aneh. Si gadis curiga seisi bus tidur atau lagi mendengarkan musik dari earphone (yang juga suka dia lakukan, tapi dia lepas kalau si pengamen reggae naik).
Dan itu terjadi tiap kali. Ah, pikirnya, apakah para pegawai kantor yang ada di bus ini semua sudah ‘mati rasa’? Atau dirinya saja yang aneh, mau bersorak untuk pengamen reggae yang nyentrik.
Sampai sekarang, dia masih saja bertanya-tanya soal fenomena ini.
*****
Momen ‘Semerbak’ Anak Punk di Bus
Ah, akhirnya datang juga bus menuju rumahnya. Ia menaikinya dengan lega. Begitu berhasil naik bus, ia melihat sekelompok anak punk jalanan yang juga hendak naik. Ia lalu buru-buru ambil tempat duduk tersisa di tengah bus sebelum diduduki orang lain.
Tak disangka, sekelompok anak punk tersebut juga berdiri di depannya. Mereka lalu melakukan orasi (kalau tidak salah, maaf udah lama jadi lupa!). Tapi ada hal lain yang ‘menyeruak’ perhatian si wanita.
Ia merasakan bau tidak sedap, bau keringat yang… yah, tidak menyenangkan untuk diciumlah. Dan datangnya dari si sekelompok anak punk itu.
Si wanita tidak kuasa mencegah ekspresinya yang tidak suka mencium baunya. Sekejap menyesal tidak ngumpetin ekspresi kebauannya di depan si ‘pemimpin’ anak punk, yang menyadari si wanita sedang kebauan. Si pemimpin menatapnya tajam, serem dong ya si wanita. ‘Haduh, moga-moga saya nggak diapa-apain.’
“Jadi orang jangan sombong, Mbak (dan beberapa kata membela diri lain kalau tidak salah, lagi-lagi lupa)!”
Duh, sebenarnya sih bukan sombong nggak sombong. Tapi ini masalah odor. Ya kalau dipikir, pakai jaket kulit di tengah cuaca panas Jakarta, apalagi di jalanan. Mana mungkin nggak berkeringat? Jaket kulit nggak menyerap cairan seperti keringat di kulit, jadi pastinya itu keringat menjalar di badan si pemakai yang pakai di cuaca panas.
Kembali ke bawah tatapan si pemimpin anak punk. Si wanita berusaha menatap ke arah lain, berharap si leader gang punk itu berhenti fokus kepadanya. Aura bus terasa agak tegang. Ia berusaha menahan refleknya untuk segera turun dari bus karena tidak tahan bau, tapi nanggung karena bukan spot dia turun dari bus!
Sesaat ia lega si pemimpin anak punk tidak lagi fokus padanya. Tapi ia hampir meledak tertawa juga antara kasihan, melihat ibu-ibu di sebelah pria punk itu setengah mati menahan bau dengan mata tertutup.
Perjalanan terasa lambat dan tidak tertahankan sampai sekelompok anak punk itu turun dari bus.
Alhamdulillah… (Menghirup udara segar semi polusi)
*****
Si Bus Tua Yang Sombong
Yah, kita tiba di grand story cerita naik bus yang paling berkesan. Yang sampai sekarang kalau diingat, masih pengen ngikik aja bawaannya. Nah, ceritanya begini…
Di suatu pagi jelang siang, si wanita melihat ada bus tua ke arah UKI yang hendak sampai ke titik dia menunggu. Dia lega melihat si bus, walau dia sebenarnya juga nggak suka sama bus ini.
Kenapa coba?
Soalnya, bus ini nggak pernah mau menepi. Maunya disamperin penumpang. Alhasil kalau mau naik, ya harus sedikit ke tengah jalan. Bayangkan dia menunggu di halte bypass yang jalanannya super lebar. Seram juga kan kalau ada motor atau mobil yang nyolong lewat dekat halte (walau pasti mereka pun hati-hati).
Jadi si wanita putuskan untuk naik saja. Karena bisa jadi ini bus paling baik buatnya pagi itu biar sampai kantor tepat waktu!
Oke dia naik, dan kalau tidak salah dia duduk paling depan dekat pintu masuk.
Perjalanan berjalan lancar. Dan jalanan juga nggak macet. Isi bus juga lowong, tidak ada penumpang yang berdiri. Sampailah mereka ke UKI dan halte tempat si wanita turun.
Kondektur berteriak, “UKI! UKI!”
“Ya, bang!” Ia berdiri.
Menolak agar berhenti di tengah, si wanita meminta bus menepi. Iya dong, masa cewek diturunin di tengah jalan? Dalam hati udah sewot ngga terima.
Ternyata supir bus mau menepi. Dan si wanita turun dengan setengah happy dan bangga sudah membela keselamatan dirinya sendiri.
Ia lalu berjalan nyamperin angkot yang akan dia naiki selanjutnya.
Lalu ia menengok ke belakang. Dan terkaget.
Bus tua itu mogok!
Si kondektur dan beberapa orang terlihat mendorong si bus dengan sekuat tenaga dan susah payah agar bisa benar-benar menepi.
Si wanita? ‘Kabur’ naik angkot! dan menatap bus mogok itu dengan setengah tidak percaya. Ia buru-buru naik karena agak ngeri jadi yang disalahkan bikin bus mogok.
Ooh, jadi itu alasan kenapa si bus tidak pernah menepi. Ya Allah. Maaf Pak Supir, Maaf Bus tua.

Tulisan ini dibuat demi memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli dengan tema Cerita Lucu. Kamu ibu-ibu alumni kampus gajah juga? Join Mamah Gajah Ngeblog, yuk!

waduh… haha kocak banget, teh! kasian bis itu jadi mogok.
Sepertinya saya tahu siapa: ‘wanita di usia pertengahan 20-an’; ‘si gadis’; dan ‘si wanita’. Ehehehe.
Pasti Andina sudah hapal sekali jalur bus di Jakarta ya kala itu.
waaahhh … teh andina rute bisnya aku familiar itu
waktu kerja di tebet dari kramatjati aku juga kadang naik metromini yang sombong, gak mau minggir ha3 …
pasrah aja deh!
sekarang sudah enak ada transjakarta ber-ac, nyaman dan aman
Hahaha.. ya ampun teh, jadi bukan sombong tapi suka mogok hihihihi… itu kayaknya orang-orang gak mau kasih respon sama pengamen karena gak mau ngasih duit hehehe jadi pura-pura gak terkesan. Memang ya naik angkot itu berseni, banyak pengalamannya 🙂
aduh kasian busnya jadi mogok, penumpang lain kasian bakal telat. tapi serem ga sih kalau berhenti di tengah gitu. harusnya ada batasan umur kendaraan umum yang masih layak beroperasi ya, biar ga jadi mogok gitu
Bus dan pengamen kayaknya selalu satu paket ya hahaha…
Bus sombong bikin ngakak sih, ternyata oh ternyata… begitu alasannya ya dia sombong. Makasih teh sudah berbagi cerita
Hehehhe kasian abang-abang supir busnya ya kalau mogok huhu. Jadi keingetan saya jaman ngantor dulu juga suka naik kopaja ke Mall Taman Anggrek, biar ngirit dan praktis dibanding naik angkot berkali-kali. Wkwk
masalah kerja di Jakarta ternyata sama ya Teh, takut kesiangan ke kantor haha, dulu aku pengen pindah dari Jakarta salah satu alasannya karena males tiap hari kesiangan terus, padahal dah berangkat jam 5:30 (kantorku masuk jam 7)
soal bus dan pengamen itu bener banget ya, kasian udah niat banget ngamen eh ga pada nyawer hehe
Baca cerita ini aku jadi ingat terus jaman harus bolak balik naik Metromini di Jakarta apalagi pas jam pulang kantor dan harus desek2an. Duh pengalaman tak terlupakan banget deh. Sekarang mah di Jakarta udah enak ya ada segala macam bentuk transportasi. Pengalamannya pasti beda lagi.
Kalau saya pasti stres banget… Udah tersiksa nyium bau badan anak punk, dipelototin ketuanya pula 😀
Duh tiba-tiba jadi ingat masa-masa perjuangan naik bis di Jakarta. Kangen juga masa-masa itu.
Pingback: Review Film : A Man Named Otto (2022) -