Ngomongin Terjebak Comfort Zone dan Mengatasinya

terjebak comfort zone dan cara mengatasinya

Baru-baru ini saya melakukan blogwalking dan menemukan sebuah topik yang menarik. Topik yang mungkin banyak orang juga terjebak. Saya jadi teringat bertahun-tahun saya terjebak dalam masalah yang dibahas di blog itu sampai akhirnya saya ‘terpaksa’ harus mendobrak sendiri untuk keluar dari masalah tersebut. Masalahnya adalah comfort zone, atau zona nyaman.

Zona nyaman atau Comfort Zone adalah sebuah situasi atau lingkungan yang sangat nyaman bagi sebuah individu, sehingga walaupun individu itu sebenarnya tidak benar-benar fit atau sesuai lagi dengan zona tersebut menjadi enggan keluar. Enggan disini bisa karena beberapa macam sih. Nah kalau saya sendiri, ada rasa takut dengan resiko keluar dari zona nyaman dan juga terlena karena atmosfir yang membuat saya nyaman disitu. Saya lagi ngomongin terjebak di comfort zone di sebuah pekerjaan yang pernah saya geluti.

Awal bekerja di situ, saya sendiri merasa nggak benar-benar fit disana. Memang sih dikarenakan saya masih newbie jadi saya merasa pekerjaan awal saya nggak terasa menantang. Ketika sudah jalan beberapa tahun, saya mulai diberi pekerjaan yang lebih berat dan kompleks. Awalnya ngeri dan nervous, tapi ketika berhasil menaklukkan pekerjaan itu, rasanya bangga dan plong. Apalagi kalau klien juga puas.

Tapi diluar dari itu, saya berjuang untuk bertahan di pekerjaan itu. Memang sih lingkungannya nyaman dan lokasinya melawan arus macet, dekat dari rumah. Driver kantor saja suka berebut nganterin saya karena cukup dekat, apalagi kalau naik tol. Teman saya sampai ngiri karena lokasi kantor saya yang strategis itu. Ya, tetap sih kalau jam macet, tetap kena imbasnya. Tapi nggak sering.

Karyawan lama suka bilang, pekerjaan yang lebih seru banyak atau kantor yang lebih oke juga banyak. Tapi “kenyamanan itu susah dicari, lho”. Ada rasa kekeluargaan yang tinggi di kantor itu. Itulah yang suka buat saya betah-betah aja. Hanya, tetap sih ada yang mengganjal.

Dari sisi pekerjaan, ya begitulah, namanya kerja di industri, sudah ada pakemnya. Mau benar-benar kreatif, sudah ada sistem atau kerangkanya. Jadi, ya tetap saja nggak bisa benar-benar berkreasi. (Ya kalau mau berkreasi kerja proyek pribadi aja ya, LOL).

Kalau dari pergaulan, ada beberapa dinding-dinding atau batasan. Ada yang bergaul sesuai suku saja, ada maunya yang segrup hobby aja. Mungkin ini salah satu yang buat saya nggak nyaman juga. Ada dinding dalam pergaulan. Bukannya mau bebas bergaul ke sana kemari juga ya, hanya nggak enaklah kalau cuma mau akrab atau membuka diri dengan yang satu background saja. Itulah realita dalam dunia pekerjaan. Memang pergaulan mempengaruhi posisi kamu juga.

Saya melakukan hampir semuanya agar betah. Dari berusaha melakukan hobby atau refreshing full saat weekend. Juga menemukan hobby baru, upgrade skill sampai sesekali liburan. Tetap saja, kembali ke rutinitas membuat jiwa atau batin saya yang jenuh ini meronta. Ya, dari sisi kreatif dan jangkauan pertemanan saya merasa dibatasi.

Padahal kalau dilihat dari luar, banyak yang iri dengan posisi saya. Melihat seragam karyawan dengan prestisenya, dengan segenap benefit karyawannya dan keuntungan yang saya dapatkan sebagai pekerja di kantor itu. Wah, pokoknya banyak kemudahan yang saya dapatkan. Ada yang mikir, kamu nggak bersyukur ya, udah enak masih aja mau cari yang lain. Tetap saja, hati ini rasanya nggak puas.

Bukannya saya nggak cari-cari peluang lain. Saya sudah mencoba cari pekerjaan lain, namun nggak ada yang terasa pas atau seenggaknya melebihi dari posisi saya sekarang. Kalaupun ada, saya tahu itu akan mengorbankan banyak dari waktu di kehidupan saya sampai saya nggak ada porsi lain selain pekerjaan. Ada tawaran lain, namun kantor itu tidak berani terima karyawan lagi dari kantor saya sampai saya resign dulu 3 bulan. Jadi ya sudah, balik lagi ke pekerjaan itu.

Sayapun mendengar banyak karyawan lama yang juga merasakan hal yang sama. Bahkan, mereka menolak peluang dari kantor yang namanya lebih besar. Saya melihat setitik penyesalan dari mereka. Namun mereka sih terlihat happy aja di kantor lama ini. Sedih juga melihat beberapa dari mereka terlihat tidak berkembang di posisi mereka saat itu.

Akhirnya saya bertemu dengan suami saya juga di kantor itu. Saya menganggap selama bertahun-tahun saya harus disitu mungkin karena saya akan diketemukan dengan suami saya. Soalnya, beberapa bulan setelah saya menikah, saya resign. Ini nggak direncanakan. Soalnya, terjebak comfort zone ini sudah sampai mempengaruhi kesehatan saya. Ujung-ujungnya, saya sudah berbeda sendiri dengan lingkungan teman-teman kantor. Saya nggak lagi cocok disana. Dan ini bukan saya aja loh yang nggak cocok. Mereka yang senior aja antara sudah hengkang atau berusaha sekali bertahan.

Mengenang tahun-tahun itu, saya sih pengen merangkul diri saya sendiri. Tahun-tahun itu mungkin saya butuh belajar tentang berbagai hal. Salah satunya adalah jujur dengan diri sendiri. Nggak melakukan apa-apa atau nggak mau melangkah ke depan bukannya tanpa resiko. Kamu bisa menghabiskan waktu melakukan hal yang nggak kamu suka, atau sebaliknya. Buat apa menjalankan hidup orang lain (orang yang bilang pekerjaan saya udah enak), kalau diri sendiri nggak bahagia?

Tapi, saya juga belajar bahwa pekerjaan yang sepenuhnya memuaskan itu nggak ada. Kalaupun sesuai passion, bisa jadi gajinya nggak seberapa. Kalaupun nggak sesuai passion, bisa jadi pekerjaan itu secara lingkungan membuat nyaman. Kalaupun sesuai passion dan lingkungan enak, bisa jadi kamu nggak pulang-pulang karena tuntutan pekerjaan. Kalau nggak sesuai passion dan gaji besar, jangan-jangan makan gaji buta atau kamu akan sangat tidak bahagia. Intinya, nggak ada pekerjaan sebagai karyawan yang benar-benar sempurna.

Lalu bagaimana agar tidak terjebak zona nyaman? Ini tips dari saya

  1. Jujurlah Dengan Diri Sendiri. Kamu happy atau nggak? Kamu bersedia nggak keluar mencari hal yang lebih buat kamu happy, dengan segala resikonya? Hidup ini nggak ada yang enak. It’s either one or the other.
  2. Jangan takut resiko/gagal. Dunia memang penuh dengan tantangan dan kadang rasanya begitu besar dan overwhelming. Ingat, nggak bergerak melakukan apa-apa juga mengandung resiko. Kamu bisa membuang waktumu melakukan hal yang nggak bermanfaat, padahal di waktu yang sama bisa saja kebalikannya, melakukan hal yang bisa membuatmu lebih fulfilled atau bahagia secara batin.
  3. Curhat Sama Tuhan. Ini yang kurang di masa lalu aku. Mungkin pernah aku berdoa dalam salah satu waktu shalat, namun sampai shalat malam nggak. Minta kepada-Nya untuk mendapatkan pekerjaan yang terbaik dan paling cocok.
  4. Jangan Hidupi Kehidupan Orang Lain. Mereka yang bilang atau menasehati dirimu ini itu tapi tidak benar-benar paham masalahmu. Apa mereka bisa menanggung resiko dari diri kamu yang stay di tempat yang kamu nggak suka? Tetap saja yang benar-benar tahu hidup kamu ya dirimu sendiri. Kalau mereka benar-benar care, mereka bakal dukung.
  5. Jika Gagal, nggak apa-apa. Karena hidup masih jalan, masih ada kesempatan mencoba yang lain. At least you tried, daripada nggak sama sekali.

The Only Permanent Thing In Life Are Change – Satu-satunya hal yang permanen dalam kehidupan adalah perubahan.

Segitu aja cuap-cuap soal zona kenyamanan dan tips untuk menghadapinya. Semoga bermanfaat ya. Apa kamu pernah mengalami terjebak di zona nyaman? Apa pendapat kamu?

Sunglow Mama Signature

13 thoughts on “Ngomongin Terjebak Comfort Zone dan Mengatasinya”

  1. Cuma Keluyuran

    Itu yang saya rasakan sekarang, hampir 7 tahun di perusahaan yang sekarang dan udah mulai jenuh banget. Rutinitas yang sama walaupun setiap 1,5 tahun saya selalu ditempatkan di beda-beda unit dan adaptasi dengan orang yang baru lagi, tetep aja udah jenus dan mau keluar dr comfort zone ini.. Semoga bisa lebih jujur sama diri sendiri tapi di masa pandemik kayak gini harus tahan-tahan dulu sambil terus berdoa & berfikit

  2. Wuaah, aku agak speechless kalo bahas zona nyaman ini. Aku sendiri memnag sudah berada di zona nyaman, tapi sebenarnya aku juga pengen keluar, tapi belum bisa karena keluarga belum mengizinkan. Yang bikin aku santai aja menghadapi penolakan tersebut, karena memang aku sudah nyaman di zona ini. Sepertinya aku memang sedang terjebak di zona nyaman.

  3. Alhamdulillah skrg sudab bisa mencari comfort zone yang lain. Dulu sempat terjebak juga dalam situasi seperti itu, gaji cukup banyak tp kok hati nggak nyaman. Akhirnya saya pilih out darisana..

  4. Waktu aku masih belum menikah emang selalu aja ada rasa pengen keluar dari zona nyaman, semangatnya meletup-letup. Tapiii ternyata setelah menikah, ada sesuatu yang lebih penting. Kehidupan anak-anak dan pekerjaan yang tidak perlu dilakukan di luar kota saja sudah alhamdulillah buat aku.

  5. Dulu saya juga seperti itu Mba, untuk memutuskan resign dari tempat kerja itu, mungkin udah kayak mutusin pacar, saking udah berada di comfort zone. Apalagi pekerjaan yang saya lakukan sesuai passion dan pertemanannya sangat solid, meskipun bosnya semakin lama kok semakin kayak romusha .

  6. Ira guslina

    Iyaaa bener mba.. kunci sebenarnya itu ada pada kemauan kita mendengar diri sendiri ya.. jujur tentang apa yang dirasa. Tapi memang pertimbangan org beda2 sehingga ada yg karena sebab tertentu terpaksa tidak move on dari suatu hal..

  7. Bercerita comfort zone sejenis tentang menantang diri sendiri ya mbak sebenarnya. Tahun kemarin saya mencoba untuk menantang diri sendiri, dengan hadirnya 3 anak yang membersamai saya. Saya mencoba untuk membangunkan kreatifitas yang dulu. Yaitu membuat macrame dan menulis. Dan finally saya bisa melaluinya. Membuat pesanan kerajinan macrame dan menulis 4 buku antologi dalam 5 bulan berturut²

  8. Zona nyaman kalau bisa memenuhi semua kebutuhan hidup termasuk psikis, ya gak masalah dipertahankan. Tapi jika di satu sisi ada perasaan stagnan, bosan, tidak upgrade diri, wajib dong move on.

  9. Aku pernah bekerja cukup lama di tempat sebelumnya, 12 tahun kurang 1 bulan. Suasana kerja nyaman, tim kerja asyik, gaji cukup, bonus menawan, bos galak tapi masih bisalah diajak diskusi, meski cuti susah, daerah macet, dan pekerjaan beresiko tinggi. Sejak dulu ingin keluar tapi nanti-nanti, sampai kemudian akunya yang males karena membayangkan harus melalui sesi wawancara di perusahaan baru.

    Toh, akhirnya aku pergi juga dari sana dengan alasan pekerjaan beresiko tadi dan keluarga. Sekarang seperti masih meraba, aku tuh pengennya ngapain, sih? Hahaha, galau.

  10. Memang zona nyaman akan membuat kita kurang berani tantangan. Ini yg terjadi dengan diriku, mbak. Bahkan sampai saat ini aku seakan terjebak dengan zona nyaman pekerjaan. Mau resign ingat umur udh ga muda lagi. Akhirnya aku mencari pelarian dengan terjun ke dunia menulis

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Scroll to Top